Oleh: Rony Rasta
Mei, masih segar dalam ingatan kita bersama, bagi generasi 70-80an yang waktu itu menapak i masa masa menjadi mahasiswa saat gerbong reformasi 98 berjalan. Tuntutan bergulirnya perubahan secara drastis untuk perbaikan (aspek sosial, ekonomi dan politik terutama) dalam masyarakat atau negara sudah tidak terbendung lagi saat itu. Agenda reformasi yang menjadi tuntutan para mahasiswa mencakup beberapa hal, seperti :
1. mengadili Soeharto dan kroni-kroninya sebagai manifestasi dari anti KKN,
2.melaksanakan amendemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
3.menghapus dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia,
4.melaksanakan otonomi daerah seluas-luasnya,
5.menegakkan supremasi hukum,
Pernak pernik kehidupan politik masa orde baru yang dirasa cukup represif dalam hal kebebasan berdemokrasi dengan mudahnya ditumbangkan melalui gelombang massa mahasiswa-rakyat. Korbanpun berjatuhan kala itu atas nama cita cita reformasi yang dikemas dalam anti KKN.
Reformasi 98 adalah sebuah ungkapan kegerahan, kekesalan rakyat atas kondisi ekonomi, politik dan demokrasi yang dirasa mengebiri kehidupan berbangsa yang tidak sesuai fitrahnya. Cita cita reformasi secara harfiah sebenarnya tidak jauh dari aksi eksponen 66 dalam penumbangan sukarno.
Bahkan di pelosok desa waktu itu, tiba tiba muncul embrio aktivis2 dadakan, mereka kebanyakan adalah para mahasiswa yang pulang kampung dan membuat “jaringan perubahan” di kampungnya maupun masyarakat yang sudah lelah dari himpitan pemerintahan waktu itu, segala aspek terutama penyelenggaraan pembangunan dan keuangan desa menjadi titik sasaran utama. Hampir disemua desa ikut terimbas dari arus reformasi itu. Pemakzulan, tuntutan mundur kepada kades dan perangkat desa dst marak dimana mana sebagai hallo effeck dari rembesan peristiwa di jakarta. Dari segi politik praktis juga demikian, kemelut internal partai tertama “transisi dari PDI suryadi ke PDIP megawati” terjadi secara sporadis hampir disemua DPC. Tidak sedikit pula para aktivis mahasiswa yang membantu proses “peralihannya” sekaligus masuk dalam struktur partai.
Lalu, apakah itu selesai? Apakah kemudian terjadi perubahan mendasar? Ternyata belum dan tidak sama sekali. Reformasi 98 dengan naifnya keluar dari rel esensi tujuannya saat ini. Reformasi menggelinding liar dengan hanya membawa 1 kata saja. Kata KEBEBASAN. Sejauh ini reformasi secara kritis hanya mampu memasukkan orang2 yang dulu teriak2 di jalan kemudian masuk dalam sistem, dan mengulanginya, itu saja. Tidak ubahnya proses reformasi 66. Dengan sendirinya proses ini menjelma menjadi kebebasan berekspresi tanpa batas dan nilai. Cemooh, bullying dan umpatan bahkan kepada marwah negara sekalipun seakan mendapatkan tempat yang wajar dalam masyarakat atas nama kebebasan bependapat dan daya kritis.
Kepemimpinan dan pola pemerintahan khas sipil pun bergulir dengan semua plus minusnya. Presidensil jatuh bangun (habibi, gusdur) begitupun dalam kehidupan politik, tidak pernah selesai dengan kekuasaan dan insting kepentingannya.
Hampir setiap hari kita disuguhi oleh atraksi gontok2an, jegal jegalan para politisi yang tidak pernah selesai dengan nafsunya dan tidak penting banget bagi pemilihnya. Pada dimensi lain tatanan politik praktis, parpol lebih memposisikan diri sebagai perusahaan yang menghasilkan robot robot caleg yang akan mendatangkan pundi pundi kepadanya. Hakekat parpol sebagai kendaraan politik penghantar caleg dan kemudian peran itu selesai setelah menjadi “wakil rakyat” tidak tercapai domain ini, parpol tetap memegang kendali atas apa yang disebutnya wakil rakyat atas nama loyalitas kepada partai, dengan demikian yang terjadi adalah degradasi fungsi legislatif. Bagaimana tidak ketika parpol dengan mudahnya mengKICK wakil rakyat yang dipersesikan tidak sesuai kebijakan partai. Dengan demikian adalah sebuah keanehan dalam berdemokrasi. Fenomena kehidupan politik era reformasi ini sama sekali tidak sesuai dengan cita cita kita. Pesta demokrasi yang sakral benar2 menjadi pesta yang membabi buta dimana fungsi parpol dengan negara tumpang tindih. Parpol milik negara atau negara milik parpol?
Kehidupan eksekutif juga demikian rapuh, atas nama reformasi hubungan pusat daerah melalui UU 23/2014 Otoda tidak seperti apa yang kita harapkan bersama. Walaupun perimbangan pusat daerah sudah diatur jelas, namun yang terjadi hanyalah seperti halnya menciptakan raja2 kecil yang dengan seenak udelnya mewarnai kekuasaan politik uang, ekonomi dan sosial di daerahnya. Hal yang lazim kita jumpai adalah penterjemahan UU menjadi Perda yang kurang sinkron dan menyebabkan ketimpangan pelaksanaan program pusat di daerah. Pembelokan2 bahkan sering terjadi ketika masih di tingkat dirjend kementrian. Sebagai akibatnya, korupsi baik secara finansial maupun perilaku dan kebijakan marak terjadi pada semua apek pemerintahan kita, tidak peduli kelas aparatur tingkat desa sekalipun, jadi ini sebenarnya adalah kondisi kemandegan agenda reformasi saat itu, antara sebelum dan sesudah yang tidak mengalami banyak perubahan.
Hukum sebagai instrument penegakan kehidupan bernegara pasca reformasi tidak banyak mengalami perubahan signifikan. Perilaku2 abnormal dalam proses hukum tidak banyak melahirkan keadilan dan kemaslahatan. Penggeseran makna hukum membuatnya mengalami kecacatan fungsi dan tujuan. Intervensi dalam kasus2 hukum melalui motif finansial, politik dan kepentingan kelompok semakin membuat wajah hukum kita rusak dan tidak diminati masyarakat yang tidak mampu menjangkaunya. Indisipliner penegak hukum pada semua tingkatan mulai dari penyidik pemula sampai pada tingkat pemutus belum sepenuhnya bereformasi menjadi insan hukum yang kredibel walau instrument pengawasan sudah diciptakan. Intervensi politik masih sangat kuat membentengi perilaku abnormal hukum kita.
Kehidupan berbangsa dan bernegara juga mengalami pendangkalan. Negara seperti kehilangan marwah dan maknanya. Tidak banyak generasi bangsa mengetahui dan memahami sejarahnya, perjuangannya, nilai nilai luhurnya. Pengebirian pendidikan sejarah, kebangsaan dan wawasan nusantara dalam kurikulum pendidikan generasi memang tidak dirasakan saat ini, tetapi 10-15 tahun kedepan walaupun reformasi sudah berjalan 25 tahun. “Pemadatan” menjadi 2-4 jam pelajaran kebangsaan dalam 1 minggu, lambat laun hanya akan menghilangkan semangat nasinalisme-patriotisme anak bangsa. Dilengkapi dengan budi pekerti dan norma yang kurang akibat arus informasi dan teknologi yang tidak tersaring, maka generasi 2000an hanya akan menjadi buruh di negara sendiri, hanya akan mampu menduduki pos pos yang remeh tidak penting, padahal tujuan reformasi 98 saat itu sekali lagi bukan untuk mengikis jiwa jiwa nasionalisme anak bangsa. Ingat sejarah bangsa adalah identitas negara.
Pekerjaan rumah Indonesia belum selesai bro. Trias politika tidak berjalan dan krisis kepemimpinan sipil.
(Bersambung)