Oleh: Herry Noorista
Di era reformasi, pimpinan dipilih rakyat secara langsung. Mekanismenya melalui pemilihan kepala daerah alias pilkada. Baik tingkat RT, RW, kepala dusun kepala desa bahkan hingga kepala pemerintahan alias presiden.
Saat ini, jumlah kepala daerah, yang menghuni penjara gara~gara korupsi, meningkat.
Dari 2004 hingga 2019, sebanyak 104 kepala daerah yang berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Apakah ada korelasi antara pilkada dengan korupsi? Penulis mencoba mengurai hal tersebut.
Pertama, salah tafsir falsafah Jawa; Jer basuki mowo bea. Kira~kira artinya untuk berhasil membutuhkan biaya. Tidak ada yang gratis di dunia ini. Apalagi kalau mau menjadi pemimpin. Maka harus rebutan alias melalui pertarungan.
Nah, dalam memenangkan pertarungan tidak hanya butuh strategi, tapi juga butuh amunisi dan pasukan. Itu butuh biaya. Tentunya tidak sedikit. Tergantung dari berbagai variablel. Semisal, luas wilayah, jumlah penduduk, jumlah tim sukses dan lain sebagainya.
Memang segala sesuatu membutuhkan biaya. Namun peruntukannya harus jelas dan rasional. Jika dana digelontor untuk money politics, rasanya kurang tepat. Sebab jelas dilarang oleh undang~undang.
Salah satu lirik lagu juga menggambarkan kondisi ini. Pingin mulyo kudu rekoso. Alias ingin hidup enak maka harus berjuang alias bersusah~susah dahulu. Menjadi bupati adalah dambaan banyak orang. Sebab menghantarkan ke kemulyaan dunia. Mungkin juga akhirat. Syaratnya amanah dalam bertugas. Itulah sebabnya banyak yang berlomba~lomba menjadi bupati walau pertarungannya menguras pikiran, tenaga dan dana. Alias rekoso.
Kedua, bentuk ketidakpercayaan diri. Menjadi calon pemimpin bisa dibentuk sejak dini. Semisal selalu berbuat baik ke masyarakat alias calon pemilih. Dengan begitu jasa~jasa calon pemimpin akan dikenang oleh masyakat. Begitu calon pemimpin macung maka dia akan dipilih.
Namun tidak sedikit yang mencoba peruntungan secara instan alias cepat. Cukup beli suara rakyat. Bisa dengan money politics atau bentuk lain. Seperti ala sinterklas. Bagi~bagi hadiah ke calon pemilih.
Sebenarnya cara instan tersebut bentuk ketidakpercayaan diri calon pemimpin. Mungkin dia sadar tidak akan menang dalam pilkada karena kurang populis di mata masyarakat. Sehingga dipilihlah cara instan tersebut. Tentu biaya yang dibutuhkan sangat besar.
Ketiga, hitungan dagang. Di otak pengusaha itu ya cari untung. Sudah keluar uang banyak untuk memenangkan pilkada maka harus balik modal. Syukur jika untung. Caranya; korupsi lah. Memang berapa sih gaji dan tunjangan bupati atau wakil bupati itu? Jika hanya mengandalkan dari gaji dan tunjangan, maka sampai habis masa bakti, modal tidak akan kembali.
Harusnya tidak ada korelasi antara pilkada dengan korupsi. Syaratnya, yang terpilih sebagai bupati atau wakil bupati tidak berpikir ala pedagang. Namun menjadi negarawan. Berkorban demi kemajuan rakyat, bangsa dan negara. Tapi mungkinkah itu?
Penulis adalah warga Tulungagung