Oleh: Rony Rasta
Kota ini mulai ramai dengan baliho disudut sudut jalan, bahkan sampai wilayah pedesaan. Dilihat atau tidak? Dibaca atau tidak?? Soal nanti. Suara pujian dan suara sumbang atas diri seseorang yang mulai menokohkan maupun ditokohkan mendadak mulai bersahutan dan berseliweran ditengah hiruk pikuk masyarakat perang melawan kehidupannya.
Fenomena demokrasi ini sudah mulai terasa,walaupun 2024 nun jauh disana, semua pada sudah mulai tepe tepe tanpa konsep yang jelas. Bahkan dengan pongahnya para kandidat menebar sebuah jargon PERUBAHAN. Miris sekali memang, ketika masyarakat tidak disadarkan oleh kalimat PERUBAHAN yang mereka maksudkan, ganti pemimpin pun namanya juga sudah perubahan, baik menjadi buruk dan sebaliknyapun hakekatnya adalah perubahan.
Namun lebih dari itu sebenarnya yang kita inginkan bersama bahwa kota ini memerlukan aplikasi dari sebuah konsep yang sangat mendasar, yaitu politik an ke arah pemerintahan yang tidak korup, clean and transparency government, good governance, itu yang merupakan kebutuhan urgent dalam waktu dekat ini. Mengapa demikian?? Semua lini kehidupan masyarakat tentunya akan ter connect dengan pola perilaku pemerintahannya, dengan demikian kebijakan yang amanah akan melahirkan manfaat ekonomi masyarakat kita. Bukan dengan alibi busuk “bahwa masyarakat belum siap menerima bantuan tunai” tapi ujung ujungnya mencari celah korupsi pula.
Yang patut disayangkan adalah mereka hanya membangun komunikasi politik yang mulai usang, semua hanya soal foto foto dan video instan, hanya soal planning planning lips servis dan beragam abstraksi lainnya. Saya sungguh prihatin bila kalimat merakyat hanya cukup diterjemahkan melalui selfi selfi, justru terkesan rakyat hanya sebagai anak tangga popularitas belaka. Patut pula dikritisi bahwa ketika pengertian komunikasi politik yang dibangun dadakan itu hanya cukup diwujudkan dalam pengobatan gratis, bagi bagi kaos, sembako, tontonan, perlombaan, pamer trophy atau apapun lagi yang sebenarnya itu adalah ranah sedekah, ranah amalillah yang tentunya harus jauh dari pengharapan agar dipilih dan demi pundi pundi suara kontestasi, sungguh naif para politikus busuk.
Lalu pada kemana mereka saat program nasional BPNT, PKH, BLT DD berantakan di kabupaten ini? Mana suaranya saat PAD amburadul? Inilah yang kita katakan sebagai pembodohan publik, adalah ketika otak masyarakat calon pemilih hanya diisi oleh retorika retorika selama 1-2 tahun kedepan.
Bangunan komunikasi politik seperti itu sangatlah kuno sebenarnya, ketika simbol simbol komunikasi dimasukkan pada ranah kekuasaan, seolah proses berkuasa hanya soal “hari ini masyarakat dikasih lolipop, besok terpilih lusa berkuasa semaunya”, rendah kali bila konstruksi komunikasi hanya disetarakan dengan yang demikian. Bahwa komunikasi politik bukan sesuatu yang harus didengungkan secara berkelanjutan dan komprehensif melalui pendidikan politik masyarakat, namun hanya sebagai permen bagi komunikator dan komunikan saja.
Komunikasi politik yang seharusnya ditunjuknya secara elegant, baik sebagai kandidat – pemenang – sampai pada saat berkuasa seharusnya mampu terpelihara dan tercermin dalam produk produk kebijakan dan integritas pemerintahannya, bukan hanya soal perselancaran kekuasaan dan propaganda propaganda sehari dua hari.
Bahwa satu hal yang mungkin sudah dilupakan adalah kemampuan masyarakat dalam pemikiran yang melahirkan swadaya politik. Dari sekian timses, mungkin hanya segelintir yang memahami dan berkemampuan mempengaruhi proses politik dalam diri masyarakat kita, karena sebagian besar dari mereka mungkin belum menguasai sumberdaya dan teknologi politik, modal daya juang dan tekad saja sangatlah sederhana untuk menghadapi konstelasi politik yang selalu berkembang masif.
Swadaya politik masyarakat kita pun pasti selalu melakukan improvisasi dari pilihan ke pilihan, diantara mereka akan menggabungkan diri dalam kelompok kelompok yang lebih dinamis dan “terdidik”, bergulirnya solidaritas publik dan kerja sama maupun kolaborasi dengan elit non penguasa. Terutama ketika kebijakan masa mengambang tercerabut, maka eksistensi one man one vote menjadi raja, apalagi keterikatan kepada parpol melandai dan disertai distrust kepada parpol sudah terjadi dalam masyarakat kita karena ulah oknum partai itu sendiri. Swadaya itu akan mendorong cita cita kedaulatan rakyat dimana masyarakat benar benar memiliki keterlibatan proses politik sampai pada keterlibatan pemerintahan, artinya penentuan mulai dari kehendak, sampai kepada pemenang, penguasa dan mempertahankan kekuasaan benar benar atas daulatnya. Masyarakat kota transisi yang selama ini hanya merupakan kelompok lemah dan terbatas dalam kesempatan memainkan peranan bagi kehidupan mereka dalam proses politik akan berubah menjadi kekuatan riil karena hakekat keswadayaan yang bermodalkan pendidikan politik, hubungan elit dan keberanian berpikir kritis. Semoga.
(Penulis tanpa gelar )